Semenjak berada di Jogja, Ilham tak jarang merasakan kedinginan disana. Kadang kepanasan. Ya. Cuaca Jogja akhir-akhir ini sedang tidak bersahabat dengan manusia. Kadang panas yang terik, kadang dingin yang sampai menusuk ke dalam tulang manusia. Secara wilayah, Jogja berada di tengah-tengah. Terletak tidak jauh dari pantai selatan dan juga gunung Merapi. Dua kepribadian cuaca yang berbeda. Terik-sejuk. Ilham seperti biasa tak jauh-jauh dari kegiatan hariannya. Beranjak ke kampus, berdiam aktif di Pusat Studi Islam, masjid kampus, dan terkadang terlelap disana. Ilham ketika itu sedang sendiri disana. Tanpa ditemani dengan sahabat-sahabat dekatnya. Safar yang biasa terlihat berjalan beriringan dengan Ilham tidak berada disana. Bahkan, Praba tidak juga terlihat disana.
Suasananya persis ketika Ilham berada di kampung halamannya. Sunyi. Hanya angin berhembus kesana-kemari menerbangkan daun-daun kering dan sampah plastik. Sebenarnya dihadapan Ilham banyak orang. Ya. Ilham cenderung belum terbuka dengan masyarakat di kampung halamannya. Ia lebih suka berdiam diri di tempat-tempat tertentu. Misal, rumah bibinya, emaknya, dan rumahnya sendiri. Terlebih lagi jika ia bosan, pergilah ia menuju kota. Mungkin saja Ilham sudah terbiasa hidup di Jogja bersama sahabat-sahabatnya yang bisa dibilang klop. Ilham terlalu nyaman untuk itu. Maka, keadaan Ilham ketika ia di kampung halamannya seperti kelelawar. Keluar hanya di waktu-waktu tertentu. Lebih senang berdiam diri di tempat yang tidak kelihatan orang banyak. Tentu beralasan. Ternyata, Ilham belum mampu beradaptasi kembali dengan lingkungan kampung halamannya. Padahal, ia tumbuh besar disana. Ya. Sekali lagi jelas bahwa Ilham pasti masih punya keinginan untuk menyapa kembali orang-orang disana. Sangat beralasan dan jelas Ilham tidak menutup diri. Hanya saja ia takut tidak diterima dan apa yang dia miliki belum tentu bisa orang-orang kampung mengerti. Status sosial yang menjadi indikatornya. Mahasiswa berbicara dengan lulusan SD dan SMP. Apalagi tidak sedikit dari orang-orang kampungnya masih bersekolah di jenjang-jenjang pendewasaan.
Ilham dengan segudang kepribadiannya mengkhawatirkan di tempat ia berdiri. Ketika itu di selasar gedung putih Pusat Studi Islam, tidak menemukan sama sekali sahabatnya. Padahal mudah saja, ketika ia mengirimkan pesan lewat telepon genggamnya itu pasti Safar dan Praba bisa ke tempat ia berdiri. Ilham terkesan sangat sederhana dalam melakukan sesuatu. Tidak mau susah-susah. Biarkan mereka datang sendiri, menghampirinya, meski di pikiran Ilham belum tentu mereka berdua datang tanpa ia melakukan sesuatupun.
Mengapa judulnya disini kedua tempat itu sama? Jawabannya, secara implisit ada di cerita ini. Temukan perbedaannya dan persamaan dari kedua tempat itu. Kedua tempat itu apa saja? Coba tentukan. Selamat mencoba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar